![$rows[judul]](https://www.sekitarkita.co/asset/foto_berita/53.jpg)
Pesanggaran - Petani di Indonesia saat ini menghadapi problem pembatasan pupuk kimia bersubsidi. Pemerintah mengurangi jumlah komoditas yang bisa disubsidi dan kuantitas pupuk yang diberikan. Ini membuat harga produksi pertanian makin mahal dan beban ekonomi petani makin tinggi.
Pupuk organik menjadi solusi yang kembali diperbincangkan hari-hari ini. PT Bumi Suksesindo (PT BSI), perusahaan tambang emas yang beroperasi di Tumpang Pitu, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur mengubah kultur budi daya petani yang terbiasa dengan pupuk kimia melalui pengembangan usaha ternak kambing di Kecamaran Pesanggaran.
Hari Setio Budi, petugas Community Relation PT BSI, mengatakan, bersama petani, mereka menguji coba pembuatan pupuk organik pada medio 2023 oleh kelompok tani Rawa Jaya. “Program pupuk organik ini bisa menjawab kebutuhan masyarakat terhadap pembatasan program pupuk bersubsidi pemerintah,” katanya.
Baca Juga :
- PT BSI Berikan Bantuan 1.000 Tong Sampah Kepada Masyarakat Banyuwangi Melalui Dinas Lingkungan Hidup
Yang menarik, pembuatan pupuk organik ini merupakan bentuk hilirisasi program ternak kambing. Selama bertahun-tahun masyarakat Pesanggaran sudah terbiasa memelihara dan membudidayakan kambing dan menanam buah naga secara massif. “Ketika keduanya dikolaborasikan, akan menjadi program yang baik,” kata Hari.
Mulanya adalah 80 ekor kambing. PT BSI memberikan kambing-kambing itu kepada empat kelompok yang masing-masing beranggotakan sepuluh orang. Setiap kelompok memperoleh 20 ekor kambing. “Program ini menyasar kelompok-kelompok di wilayah ring satu Kecamatan Pesanggaran dengan semangat memanfaatkan potensi lokal,” kata Hari.
Kambing ini dibudidayakan sebagai program bergulir oleh 14 kelompok yang beranggotakan 200-300 orang anggota. “Setiap anggota mendapat dua kambing indukan. Setelah berkembang dan beranak-pinak, digulirkan ke anggota yang belum memperolehnya. Jumlah kambing di kelompok kami sekarang kurang lebih 670 ekor dan dimiliki 34 orang anggota,” kata Sujiono, Ketua Kelompok Rawa Jaya.
Program bergulir ini sangat membantu masyarakat. “Tadinya tak punya kambing. Lalu setelah ada kelompok, semua anggota merasakan punya kambing untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Sujiono.
Kambing-kambing ini memiliki fungsi ekonomi dan pertanian. Sebagian kambing dijual untuk mencukupi kebutuhan hidup anggota. Kurang lebih ada 800 ekor kambing yang dijual untuk mencukupi kebutuhan ekonomi.
Seluruh anggota Rawa Jaya diwajibkan mengumpulkan kotoran kambing masing-masing untuk diolah. Sebenarnya Sujiono dan kawan-kawan sudah lama memproduksi pupuk organik. “Tapi kami belum punya kepikiran untuk mengolah kotoran kambing seperti sekarang. Biasanya kotoran kambing dibawa ke kebun langsung. Tentu saja karena kotoran masih keras, penyerapan ke tanahnya lebih lama. Satu tahun belum tentu hancur,” katanya.
PT BSI memberikan peralatan untuk membuat pupuk organik secara fermentasi, termasuk mesin penghancur kotoran ternak. Sujiono mengatakan, kelompoknya sudah memproses kurang lebih 10 ton pupuk organik dari kotoran kambing sejak November hingga Desember 2023. Sebagian besar pupuk dipakai sendiri. Sebagian disalurkan kepada petani lain yang membutuhkan. Dalam situasi keterbatasan pupuk NPK, urea, dan Phonska bersubsidi, para petani memang diharuskan saling bantu.
Pupuk organik ini digunakan di atas 10 hektare lahan petani, mayoritas buah naga. Ada perbedaan dengan pupuk kimia. Menurut Sujiono, pupuk kimia membuat tanaman buah naga cepat berkembang dan bertumbuh. “Misalkan kemarin warnanya kuning, begitu diberi pupuk kimia setelah tiga sampai empat hari bisa menghijau cepat,” katanya.
Ini berbeda dengan pupuk organik yang butuh waktu lama untuk diserap tanah dan tanaman. Namun kualitas produksi buah naga yang menggunakan pupuk organik lebih bagus. Sujiono mengatakan, dengan menggunakan pupuk organik, petani bisa menghasilkan 8 – 9 ton buah naga. Sementara dengan pupuk kimia bisa menghasilkan 6 – 7 ton buah naga.
“Dari sisi mutu, lebih bagus buah naga dengan pupuk organik. Buahnya tahan dan lebih berat. Warnanya lebih bagus,” kata Sujiono.
Masa panen buah naga yang dipupuk dengan organik dan yang dipupuk dengan kimia pun tak berbeda, sekitar 5 - 6 bulan setelah masa tanam. Biaya produksi bisa dihemat dengan menggunakan pupuk organik.
“Biaya operasional budi daya buah naga dengan pupuk kimia per hektare minimal butuh Rp 2 juta. Kalau pakai organik cukup Rp 1 juta,” kata Sujiono. Harga pupuk kimia yang melambung karena terbatasnya subsidi membuat marjin keuntungan yang diperoleh petani makin tipis.
Kini PT BSI berusaha menjaga agar program ini berkelanjutan dan berkembang. Setiap bulan Hari menemani para kelompok tani melakukan pertemuan rutin. “Kami beri pendampingan dan saran-saran bagaimana budi daya yang baik dan menjaga kelompok tetap eksis dan berkembang,” katanya.
PT BSI ingin ada uji laboratorium terhadap pupuk organik yang diproduksi para petani itu. “Kami ingin mengetahui kandungan seperti apa, dan kami sesuaikan keputusan menteri soal jumlah N berapa, P berapa, sehingga produk ini benar-benar bisa dipasarkan,” kata Hari.
Ini sesuai dengan harapan Sujiono. Ia ingin usaha yang sudah dirintis kelompoknya bersama PT BSI semakin berkembang. “Kami ingin mengembangkan pengelolaan pupuk organik sehingga bisa kami jual ke luar daerah,” katanya. (*)